Selasa, 14 Juni 2011

LAPORAN PRAKERIN

ANALISIS KADAR VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
DI PT PUPUK SRIWIDJAJA
PALEMBANG




LAPORAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI
( PRAKERIN )







ANDRIANSYAH
NIS. 083858




Untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian Pembelajaran
Di Sekolah Menengah Teknologi Industri Padang




KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INDUSTRI
SEKOLAH MENENGAH TEKNOLOGI INDUSTRI
PADANG
2010

ANALISIS KADAR VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
DI PT PUPUK SRIWIDJAJA
PALEMBANG

LAPORAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI
( PRAKERIN )

Untuk memenuhi salah satu syarat penyelesaian Pembelajaran
Di Sekolah Menengah Teknologi Industri Padang

Oleh

ANDRIANSYAH
NIS. 083858


KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
SEKOLAH MENENGAH TEKNOLOGI INDUSTRI
PADANG
2010
ANALISIS KADAR VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
DI PT PUPUK SRIWIDJAJA
PALEMBANG



Oleh
ANDRIANSYAH
NIS. 083858




Mengetahui : Menyetujui :
Staf Diklat Pembimbing Institusi


Basir Damili, SE Arman Tazaruddin
Badge No.81.4568 Badge. 82. 1406





ANALISIS KADAR VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
DI PT PUPUK SRIWIDJAJA
PALEMBANG



Oleh

ANDRIANSYAH
NIS. 083858



Mengetahui : Menyetujui :
Kepala SMTI Padang Pembimbing Sekolah





Drs. Anurgaha Darmawangsa ZA
NIP. 19661010 1 99403 1 005



ANALISIS KADAR VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
DI PT PUPUK SRIWIDJAJA
PALEMBANG

Oleh
ANDRIANSYAH
NIS. 083858

Mengetahui :

Pembimbing Institusi Pembimbing Sekolah


Arman Tazaruddin Darmawangsa ZA
Badge. 82.1406



Disahkan Oleh :
Kepala SMTI Padang


Drs. Anurgaha
NIP. 19661010 1 99403 1 005

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Industri (PRAKERIN) di PT PUSRI Palembang dengan judul “Analisis Vanadium dalam larutan Benfield”.
Praktik Kerja Industri ini merupakan bagian kurikulum yang ditetapkan oleh Sekolah Menengah Teknologi Industri Padang ( SMTI Padang ). Laporan ini disusun berdasarkan hasil kerja praktik di Laboratorium Pusat PT Pusri.
Selama Praktik Kerja Industri ini berlangsung, penulis telah mendapatkan banyak pengetahuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Anurgaha selaku Kepala Sekolah Menengah Teknologi Industri Padang.
2. Bapak Ir. Dadang Heru Kodri, MM selaku Direktur Utama PT PUSRI.
3. Bapak Darmawangsa ZA, selaku guru pembimbing Prakerin sekolah yang telah banyak memberi pengarahan.
4. Bapak Arman Tazaruddin, selaku pembimbing praktik di Laboratorium Pusat PT Pusri yang telah banyak memberi pengarahan.
5. Guru karyawan/karyawati SMTI Padang beserta karyawan/karyawati perusahaan.
6. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.




Palembang, Agustus 2010

Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Pembatasan Masalah 2
1.3 Perumusan Masalah 2
1.4 Uraian Singkat Perusahaan 2
1.4.1 Sejarah PT Pupuk Sriwidjaja 2
1.4.2 Visi dan Misi 4
BAB II PROSES PRODUKSI PERUSAHAAN 5
2.1 Bahan Baku Produksi 5
2.2 Mesin dan Peralatan Produksi 5
2.3 Proses Produksi 6
2.3.1 Proses Pembuatan Ammonia ..……………………………. 6
2.3.2 Proses Pembuatan Urea ……………………………. 9
2.3.3 Pabrik Utilitas ……………………………………………… 13
2.4 Diagram Alir Proses Produksi 17
2.4.1 Blok diagram Pabrik Ammonia 17
2.4.2 Blok diagram Pabrik Urea 18
2.4.3 Blok diagram Overall Pabrik PT Pusri 18
BAB III Analisis Vanadium dalam Larutan Benfield 19
3.1 Tinjauan Pustaka 19
3.1.1 Tinjauan Metoda Analisis Spektrofotometri 19
3.1.2 KVO3 20
3.1.3 Titrimetri 21
3.2 Alat yang digunakan 21
3.3 Bahan yang digunakan 22
3.4 Prosedur Kerja 22
3.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi 22
3.4.2 Cara Kerja 22
3.4.3 Rumus 23
3.5 Pengamatan 23
3.5.1 Data 23
3.5.2 Perhitungan 30
3.6 Pembahasan 32
BAB IV PENUTUP 33
Simpulan ……………………………………………………………….. 33
Saran ……………………………………………………………………. 33
Daftar Pustaka …………………………………………………………………….... 34


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pupuk Urea merupakan sumber hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Untuk pembuatan pupuk urea menggunakan bahan baku yaitu NH3 dan CO2 . Bahan baku CO2 diambil dari gas bumi yang diperoleh dari Pertamina dengan komposisi CH4 sekitar 70% dan CO2 sekitar 10% . CO2 ini dapat diserap dengan menggunakan larutan Benfield.
Pada dasarnya larutan Benfield adalah larutan K2CO3 panas yang diaktifkan hingga kondisi tertentu dengan design proses. Dalam keadaan normal komposisi larutan Benfield adalah K2CO3, V2O5 , dan DEA. Fungsi dari larutan Benfield adalah untuk menyerap gas CO2 dalam gas alam yang akan dijadikan sebagai bahan utama dalam pembuatan pupuk Urea.
Selain dari, DEA, dan K2CO3, Vanadium juga termasuk salah satu komposisi terpenting dalam larutan Benfield yang berguna untuk lapisan pelindung (protective) dipermukaan logam sehingga terlindung dari korosi.
Kadar Vanadium dalam larutan Benfield yang telah ditetapkan oleh pihak PT PUSRI adalah 0,5-1,5 %. Jika kadarnya diatas dari kadar yang telah ditetapkan maka, akan terjadi pemborosan serta dapat mengikis pipa-pipa yang mengaliri larutan Benfield tersebut. Jika kadarnya dibawah kadar yang telah ditetapkan maka, gas CO2 tidak terserap dengan sempurna.
Berdasarkan Uraian Diatas maka, penulis mengambil judul yaitu ” Analisis Kadar Vanadium dalam Larutan Benfield”.

1.2 Pembatasan Masalah
Untuk menentukan kadar Vanadium dalam larutan Benfield kita harus melaksanakan suatu analisis yang mana hasil analisis itu dibandingkan dengan parameter yang telah ditetapkan oleh pihak PT PUSRI. Pada tugas khusus ini penulis membatasi masalah analisis sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan oleh perusahaan dengan batasan kadar Vanadium total dalam larutan Benfield yaitu 0,5 – 1,5%.

1.3 Perumusan Masalah

Dari parameter Vanadium yang akan diuji pada tugas khusus laporan prakerin ini penulis merumuskan masalah sesuai dengan batasan masalah diatas yaitu :
Apakah Kadar Vanadium dalam larutan Benfield yang didapatkan sesuai dengan literatur atau standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan yang mana literatur dan standar baku mutu yang dibuat oleh perusahaan PT Pusri telah mengacu kepada peraturan pemerintah yang telah ditetapkan secara resmi ?

1.4 Uraian Singkat Perusahaan

1.4.1 Sejarah PT PUPUK SRIWIDJAJA
PT Pusri adalah badan usaha milik negara (BUMN) dengan pemegang saham tunggal adalah Pemerintah, PT Pusri didirikan tanggal 24 Desember 1959 di Palembang dengan kegiatan utama memproduksi pupuk urea yang produksi pertamanya tahun 1963 dengan kapasitas 100.000 ton urea pertahun.
Tahun 1974 didirikan PUSRI II dengan kapsitas produksi 380.000 ton urea pertahun (1992 kapasitasnya dioptimalisasikan sampai 570.000 ton urea pertahun). Tahun 1976 / 1977 didirikan PUSRI III dan IV dengan kapasitas masing-masing 570.000 ton urea pertahun.
Tahun 1990 dibangun pula pabrik PUSRI I-B sebagai pengganti PUSRI I yang tidak ekonomis lagi. Pabrik PUSRI I-B ini adalah pabrik pertama yang dikerjakan oleh ahli-ahli dalam negeri dengan konsep hemat energi.
Pada tahun 1979, pemerintah menetapkan PT PUSRI sebagai perusahaan yang bertanggungjawab dalam pengadaan dan penyaluran seluruh jenis pupuk bersubsidi, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor untuk memenuhi kebutuhan program intensifikasi pertanian (Bimas / Inmas).
Pada tahun 1997 dibentuk “Holding” BUMN Pupuk di Indonesia dan PT PUSRI ditunjuk oleh pemerintah sebagai induk perusahaan. Pada tanggal 1 Desember 1998, pemerintah menghapuskan subsidi dan tata niaga seluruh jenis pupuk. Baik pupuk yang diproduksi dalam negeri (ZA, TSP, UREA) maupun pupuk impor (KCl).
Usaha PT PUSRI agar penyaluran pupuk ini sampai ke tangan petani, maka PT PUSRI memiliki 26 Kantor Pemasaran Wilayah (KPW), 6 Unit Pengantongan Pupuk (UPP), 92 gudang penyediaan pupuk yang tersebar seluruh tanah air dan 600 gerbong kereta api yang beroperasi di pulau Jawa serta 7 kapal pengangkutan pupuk.
PT PUSRI mempunyai pengalaman yang baik dalam bidang perekayasaan pabrik dan pengaturan manajemen. Pengalaman ini berguna dalam membantu pembangunan dan perbaikan tahunan pada beberapa pabrik pupuk antara lain:
a. PT Pupuk Kujang di Cikampek Jawa Barat
b. PT Pupuk Kaltim di Kalimantan Timur
c. PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh
d. PT Petrokimia Gresik
Sebagai BUMN PT PUSRI mengemban 3 misi pokok yaitu:
1. Sebagai Unit Usaha
2. Sebagai Penggerak Pembangunan
3. Sebagai Stabilisator
1.4.2 Visi dan Misi
Visi : “Menjadi perusahaan kelas dunia dalam industri pupuk, petrokimia dan jasa-jasa teknik melalui maksimasi nilai untuk perusahaan dan kepuasan pelanggan”.
Misi : “Memproduksi dan memasarkan pupuk untuk mendukung ketahanan pangan nasional (swasembada pangan), produk-produk petrokimia dan jasa-jasa teknik di pasar nasional dan global dengan memperhatikan aspek mutu secara menyeluruh”.



BAB II
PROSES PRODUKSI PERUSAHAAN

2.1 Bahan Baku Produksi
Untuk membuat pupuk urea dibutuhkan bahan baku utama seperti :
1. CO2
2. NH3
Sedangkan bahan penolong pembuatan urea adalah :
1. Air
Terdiri dari :
a. Water Treatment Plant
b. Demineralized Water Plant
c. Cooling Water
2. Steam
Terdiri dari :
a. Water Heat Boiler (WHB)
b. Package Boiler (PB)


2.2 Mesin dan Peralatan Produksi

Proses produksi PT PUSRI menggunakan peralatan
A. Pabrik Utilitas
1. Floculator 6. Striper
2. Sand Filter 7. Boiler
3. Storage Tank 8. Packed Boiler
4. Carbon Filter 9. Cooling Water
5. Demin Plant
B. Pabrik Ammonia
1. Desulfizer
2. Primary Reformer
3. Secondary Reformer
4. Absorber CO2
5. Methanator
6. Kompresor CO2
7. Ammonia converter
C. Pabrik Urea
1. Kompresor
2. Reaktor Urea
3. Dust Chumbert
4. Belt Conveyer


2.3 Proses Produksi

2.3.1 Proses Pembuatan Ammonia
Bahan baku pembuatan Ammonia adalah gas bumi yang diperoleh dari Pertamina dengan komposisi utama Methane (CH4) sekitar 70% dan CarbonDioxide (CO2) sekitar10% Steam atau uap air diperoleh dari air Sungai Musi setelah mengalami suatu proses pengolahan tertentu di Pabrik Utilitas.
Sedangkan udara diperoleh dari lingkungan, dan sebelum udara ini digunakan sebagai udara proses, ditekan terlebih dahulu oleh kompressor udara.
Secara garis besar proses dibagi menjadi 4 unit dengan urutan sebagai berikut :
1. Feed Treating Unit
2. Reforming Unit
3. Purification & Methanasi
4. Compression Synloop & Refrigeration Unit
(1) Feed Treating Unit
Gas Alam yang masih mengandung kotoran (impurities), terutama senyawa belerang sebelum masuk ke Reforming Unit harus dibersihkan dahulu di unit ini, agar tidak menimbulkan keracunan pada Katalisator di Reforming Unit. Untuk menghilangkan senyawa belerang yang terkandung dalam gas alam, maka gas alam tersebut dilewatkan dalam suatu bejana yang disebut Desulfurizer. Gas alam yang bebas sulfur ini selanjutnya dikirim ke Reforming Unit.
(2) Reforming Unit
Di reforming unit gas alam yang sudah bersih dicampur dengan uap air, dipanaskan, kemudian direaksikan di Primary Reformer, hasil rekasi yang berupa gas-gas hydrogen dan carbon dioxide dikirm ke Secondary Reformer dan direaksikan dengan udara sehingga dihasilkan gas-gas sebagai berikut :
1. Hidrogen
2. Nitrogen
3. Karbon Dioksida
Gas gas hasil reaksi ini dikirim ke Unit purifikasi dan Methanasi untuk dipisahkan gas karbon dioksidanya.

(3) Purification & Methanasi
Karbon dioksida yang ada dalam gas hasil reaksi Reforming Unit dipisahkan dahulu di Unit Purification, Karbon Dioksida yang telah dipisahkan dikirim sebagai bahan baku Pabrik Urea. Sisa karbon dioksida yang terbawa dalam gas proses, akan menimbulkan racun pada katalisator ammonia converter, oleh karena itu sebelum gas proses ini dikirim ke Unit Synloop & Refrigeration terlebih dahulu masuk ke Methanator.
(4) Compression Synloop & Refrigeration Unit
Gas Proses yang keluar dari Methanator dengan perbandingan gas hidrogen : nitrogen = 3 : 1, ditekan atau dimampatkan untuk mencapai tekanan yang diinginkan oleh Ammonia Converter agar terjadi reaksi pembentukan, uap ini kemudian masuk ke Unit Refrigerasi sehingga didapatkan amoniak dalam fasa cair yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan Urea.
Hasil / produk pada proses di atas adalah gas ammonia cair serta karbon dioksida yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan Urea.
Sifat Fisik dan Kimia Ammonia
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna pada tekanan atmosfer, bersifat lebih ringan dari pada udara dan memiliki bau yang sangat menyengat, ammonia dapat dicairkan di bawah tekanan 10 atm. Ammoniak larut dalam air dan mengion sesuai dengan reaksi yaitu:
NH3 + H2O NH4OH
Kelarutan ammonia dalam air dipengaruhi oleh tekanan atau tersuspensi.
Ammonia memiliki titik didih -33.42 0C pada tekanan 1 atm. Titik leleh ammonia adalah -77.74 0C. Suhu kritis ammonia 133 0C dan memiliki kelarutan dalam air sebesar 31 g/liter pada suhu 25 0C . Ammonia dalam air akan membeku dan membentuk kristal pada suhu 34 0C, sedangkan dengan pendingin lanjut sampai suhu 49 0C akan menghilangkan bau kristal yang terbentuk. Apabila menghirup udara yang mengandung ammonia sebesar 5000 mlg/L akan menimbulkan luka bakar dan bila kontak dengan mata pada konsentrasi di atas 700 mlg/L akan menimbulkan kebutaan, iritasi pada saluran pernapasan, hidung, pada konsentrasi 400-700 mlg/L namun pada konsentrasi 50 mlg/L saja ammonia mudah terdeteksi karena baunya yang sangat tajam.
2.3.2 Proses Pembuatan Urea
Proses pembuatan urea pada plant urea menggunakan bahan baku yang berasal dari plant Ammonia dan CO2 yang menghasilkan produk antara Ammonium Karbamat. Senyawa Karbamat kemudian dikomposisi sehingga dihasilkan urea dan air.
Pabrik ini terdiri dari 5 seksi, yaitu:
1. Seksi Sintesis
Pada seksi ini bahan baku berupa Ammoniak dan CO2 akan bereaksi menjadi urea melalui dua reaksi kimia yaitu:
2(NH3)g + (CO2)g (NH2COONH4)
(NH2COONH4) (NH2CONH2) + (H2O)
Ammonium Karbamat Urea
Reaksi (1) membentuk Ammonium Karbamat, mengeluarkan panas yang tinggi. Reaksi ini berlangsung sampai selesai. Jika panas yang direaksikan segera dapat dipindahkan sehingga temperatur yang seimbang dengan tekanan disosiasi yang terdapat di dalam reaktor.
Reaksi (2) Ammonium Karbamat terhidrasi menjadi urea, mengeluarkan panas dalam jumlah yang lebih rendah dari pada reaksi awal. Sintesa urea ini berlangsung di dalam bejana tegak bertekanan 250 kg/cm2 dan bertemperatur 200 0C yang disebut reaktor urea yang mempunyai volume cukup untuk mengadakan reaksi sintesa sampai mendekati kondisi setimbang.
2. Seksi Dekomposisi
Pada seksi ini produk dari reaksi sintesa yang terdiri dari Urea, Biuret, Ammonium Karbamat, air dan kelebihan Ammonia diproses untuk pemisahan urea dari produk reaksi. Dekomposisi ini biasanya dilakukan pada temperatur 120 oC-160 oC. Larutan urea yang dihasilkan dikirim ke seksi kristalisasi dan pembutiran urea sebesar 95 % berat.
3. Seksi Recovery
Di seksi ini semua gas Ammonia dan CO2 dikirim ke fasilitas proses “Down Stream” untuk membuat senyawa nitrogen lain, misalnya asam nitrat, Ammonia nitrat, dan lain-lain. Dalam seksi ini gas-gas tersebut diserap dengan larutan urea, air, dan ammonia. Larutan urea yang digunakan disini diperoleh dari cairan induk seksi kristalisasi dan pembutiran. Gas-gas Ammonia dan CO2 yang mengalami penyerapan bergabung kembali menjadi Ammonium Karbamat dan dikirim kembali ke reaktor. Sisa Ammonia yang masih ada dipisahkan sebagai Ammonia cair, hasil ini dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku.
4. Seksi Kristalisasi dan Pembutiran
Pada seksi ini larutan urea dikristalisasikan pada keadaan vakum. Kristalisasi dilakukan sesudah sejumlah air diuapkan dari larutan urea. Penguapan dilakukan pada keadaan vakum dalam suhu rendah dengan panas yang timbul pada proses kristalisasi. Kristal yang terbentuk dalam vakum kristalizer dipisahkan dengan centrifuge yang kemudian dikeringkan dengan udara panas sehingga didapatkan kadar air kurang dari 0,3%. Kristal-kristal kering dibawa ke atas menara pembutiran (prilling tower) melewati fluidizing dryer. Di sini kristal dilelehkan yang didesain khusus dengan pemanas steam. Urea yang meleleh kemudian mengalir ke distributor dan membentuk tetes-tetes (droplet) dan memadat oleh udara pendingin di prilling tower.
Urea dari urea solution yang sudah bebas Karbamat di kristalkan pada kondisi vakum oleh Kristalizer. Kristal urea yang terjadi dipisahkan dari larutan induk (Mother Liguor) di Centrifuge, kemudian kristal dikeringkan dan dihembuskan oleh udara panas ke Melter ( di buat lelehan ) yang selanjutnya di prill-kan di prilling tower sambil didinginkan dengan udara kering.
a. Crystalizer
b. Centrifuge
c. Fludizing
d. Melter
e. Prilling Tower
5. Seksi Pengolahan Kondensat Proses
Seksi ini berfungsi untuk mengolah air yang terbentuk dari hasil reaksi urea dari NH3 dan CO2 dipisahkan dengan cara penguapan diseksi kristalisasi, kemudian uap air tersebut dikondensasikan di Surface Condensor. Kondensat yang terjadi sebahagian dipakai diseksi Recovery dan sisanya diolah diseksi pengolahan kondensat proses, kemudian di strip kandungan Ammoniaknya menggunakan uap air di Stripper bagian atas, kemudian dikirim ke hidrolizer pada tekanan 16 kg/cm2 dan suhu 200 0C untuk menghidrolisa urea yang terkandung didalamnya dengan reaksi :
NH2CONH2 + H2O 2NH3 + CO
Kondensat yang sudah bebas ammoniak dan urea akan keluar dari Stripper bagian bawah untuk dikirim ke LPD sebagai pemanas untuk mendekimposisikan karbamat yang akan di serap kandungan NH3 dan CO2 diseksi Recovery.
Sifat Fisika Dan Kimia urea prill
Urea berbentuk butiran kristal berwarna putih berdiameter kurang lebih 1 mm. Urea merupakan persenyawaan anorganik dan tidak bermuatan listrik. Urea memiliki rumus kimia CO(NH2)2 dan berat molekul 60.06 g/mol. Titik leleh urea adalah 132.70 0C. Pemanasan larutan urea dalam waktu yang cukup dapat menyebabkan biuret (NH2COONH)2. Biuret merupakan produk samping yang bersifat racun pada tanaman bila kandungannya lebih dari 1 %. Urea bersifat higroskopis, pada kelembapan 73% urea mulai menyerap dari udara. Kandungan nitrogen pada urea sekitar 46% dan diserap oleh akar tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk garam Ammonium dan Nitrat.

Standar Kualitas Pupuk Urea
Kualitas Urea yang dihasilkan :
Nitrogen 46,2 % berat (minimum)
Air 0,3 % berat (maksimum)
Biuret 0,5 % berat (maksimum)
Besi 1 ppm berat (maksimum)
NH3 bebas 150 ppm berat (maksimum)
Tabel 1: Kualitas Urea
2.3.3 Pabrik Utilitas
Pabrik utilitas yaitu unit penunjang yang bertugas mempersiapkan kebutuhan operasional pabrik ammonia pabrik urea, khususnya yang berkaitan dengan penyediaan bahan baku dan bahan pembantu.
Pabrik Utilitas terdiri dari beberapa unit, yaitu :
1. Gas Metering Station (Gas Alam)
Kebutuhan gas alam PT Pusri di suplai oleh pertamina. Pipa gas alam masuk ke station pengukur gas, dimana suatu deretan knock out drum akan memisahkan cairan yang terkandung dalam gas alam tersebut. Cairan yang terpisah kemudian di kirim ke Burning Pit untuk di bakar.
Untuk mengetahui flow gas alam ke masing-masing pabrik maka setelah KO Drum yang terakhir dipasang flow meter sedangkan untuk mengetahui nilai panas gas alam dilakukan analisa laboratorium dengan frekuensi 2(dua) kali seminggu.


2. Water Treatment Plant (Air Bersih)
Unit in berfungsi untuk mengolah air yang diambil dari sungai musi dengan pompa sungai, tujuan rangkaian proses di uunit adalah untuk memperoleh air jernih sebagai bahan baku prose selanjutnya ( Demin dan Cooling Water). Aur dari sungai Musi yang masih keruh/ kotor dengan turbidity berkisar 40-60 ppm dipompa masuk ke floculator dan diinjeksikan 4 macam bahan kimia :
1. Chlorine (sebagai pembunuh algae/ ganggang dan bakteri)
2. Aluminium Sulfat (sebagai pengikat partikel koloid sehingga terbentuk floc)
3. NaOH sebagai pengatur pH
4. Coagulan Aid (sebagai bahan pembantu untuk memperbesar ukuran floc).
Di dalam floculator air dan keempat bahan kimia bercampur secara merata dengan bantuan pengaduk.
3. Deminiralized Water Plant
Unit demin plant mengolah filterd water menjadi air bebas mineral dengan system pertukaran ion ( ion exchanger ). Peralatan yang digunakan untuk pembuatan demain water ini adalah :
1. Pompa make up demin
2. Carbon filter
3. Cation exchanger
4. Anion exchanger
5. Mixbed exchanger
6. Tanki dan pompa injeksi acid & caustic
7. Neutralizer tank
8. Demin water tank
4. Cooling Water
Cooling water atau air pendingin adalah suatu media yang berfungsi untuk menyerap panas suatu proses atau peralatan dengan cara perpindahan panas (heat transfer).
Sistem Cooling Water di Pusri menggunakan type open Recirculating cooling water. Disini cooling water menyerap panas melalui heat exchanger, kemudian sebagian air yang panas ini selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Dengan melepas panas latent air tersebut, maka sebagian air yang lain akan menjadi dingin kembali dan dapat dipergunakan lagi. Proses ini dinamakan Water Recooling Process dean untuk ini diperlukan Cooling Water dan Cooling Water Basin.
5. Steam System
Steam sistem utilitas disediakan untuk keperluan terutama operasi Pabrik Urea dan Utilitas sendiri serta Amonia khususnya pada saat start up dan emergency sehingga harus impor steam dari utilitas.
Kualitas steam yang dihasilkan Boiler sangat bergantung dengan kualitas air yang di pakai sebagai Boiler Feed Water (BFW).
Air yang dipakai untuk pembuatan steam harus memenuhi beberapa persyaratan :
1. Tidak boleh membuih/ foaming
2. Tidak boleh membentuk kerak
3. Tidak boleh menyebabkan terjadinya korosi



6. Electric Generator ( Pembangkit tenaga listrik )
Tenaga listrik dibangkitkan oleh Gas Turbine Generator (GTG) dengan bahan bakar natural gas. Kapasitas GTG P-IB/ III / IV ( Hitachi ) masing-masing 15 MW dan GTG P-IB ( General Electrik ) adalah 22.3 MW. Gas panas pembakaran dari GTG dimanfaatkan sebagai bahan bakar di WHB.
7. Plant Air & Instrumen Air
Plant air ( udara pabrik ) diperoleh dari kompresor udara 101-J Ammonia Plant pada kondisi normal dengan tekanan system dikontrol oleh PCV yang kemudian dibagi menjadi 2 (dua ) cabang untuk Plant Air dan Instrument Air. Plant air ( udara pabrik ) pemakainya langsung di distribusikan ke seluruh pabrik sesuai tekanan yang tersedia. Udara Instrument diperoleh dari sumber yang sama dengan udara pabrik namun dilakukan proses penghilangan kandungan uap airnya dengan cara pengeringan ( drying ) menggunakan silica gel dan actived alumina dalam Air Dryer sehingga dew pointnya menjadi -40 F. Tekanan untuk Instument air ini harus terjaga minimum 7.0 kg/cm2 karena dipakai untuk alat control pneumatic, jika gangguan pada instrument air ini akan dapat menyebabkan shut-down pabrik.
8. Air Separation Plant
Air Separation Plant atau pabrik pemisahan udara berfungsi untuk memisahkan nitrogen dan oksigen dalam udara. Proses pemisahan ini berlangsung pada temperature sangat rendah ( Cryogenic ) yaitu temperatur titik didih N2 dan O2. Oleh karenanya, harus dilakukan pengeringan udara untuk menghilangkan kandungan moisture sebelum masuk ke dalam cold box untuk itu dilakukan analisa kandungan H¬2O pada Outlet Dryer dengan spesifikasi 2.0 ppm H2O maks.
Beberapa tahapan proses ASP ini adalah :
a. Penyediaan udara tekan ( digunakan compressor udara )
b. Pemurnian udara
c. Pendingin udara
d. Pemisahan udara


2.4 Diagram Alir Proses Produksi
2.4.1 Blog Diagram Pabrik Ammonia



2.4.2 Blok Diagram Pabrik Urea

2.4.3 Blok diagram Overall Pabrik PT PUSRI

BAB III
ANALISIS VANADIUM DALAM LARUTAN BENFIELD
3.1 Tinjauan Pustaka
3.1.1 Tinjauan Metoda Analisis Spektrofotometri
Faktor ketajaman mata pada kolorimeter dapat digantikan dengan suatu sel fotolistrik yang secara langsung mengukur intensitas dari cahaya yang dipancarkan dan secara tidak langsung cahaya yang diadsorbsi, jadi tergantung pada warna dari benda. Biasanya alat ini disebut fotometer, fotoelektrik komparator, absorptiometer atau kolorimeterfotolistrik.
Untuk menetapkan kadar suatu zat dibuat suatu seri atau deret standar yang kemudian ditetapkan absorbansinya. Bila dibuat grafik kepekatan terhadap absorbansi akan terbentuk grafik dari persamaan hukum Lambert-Beer.
Spektrofotometer banyak sekali dipergunakan dalam praktik sehingga dalam sehari-hari orang biasanya menyebutkan penetapan cara spektrofotometri.
Spektrofotometer terbagi dalam 4 bagian penting:
1. Sumber cahaya.
Sumber cahaya harus memancarkan cahaya dengan intensitas sinar yang besar dan stabil, serta memenuhi panjang gelombang yang kita inginkan.
2. Monokromator
Monokromator adalah alat yang memiliki satu warna dan panjang gelombang yang sempit.
3. Kuvet
Kuvet adalah wadah untuk menampung larutan atau cuplikan.
4. Detektor.
Detektor adalah alat pengamat atau pendeteksi yang mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik yang sebanding dengan kosentrasi
3.1.2 KVO3
KVO3 (Kalium Meta Vanadat) yaitu berupa serbuk kuning kehijauan dimana penambahan kedalamnya system Benfield adalah dalam bentuk V2O5 sebanyak 0,5 – 1,5 % adapun reaksinya adalah

V205 + K2CO3 2KVO3 + CO2

Dimana vanadium terdapat sebagai pentavalen ( V+5 ) yang berguna untuk lapisan pelindung (protektif) dipermukaan logam hingga terlindung dari korosi.
Vanadium dalam bentuk V+5 inhibitor yang baik dalam larutan benfield dari Vanadium dalam bentuk V+4 dalam analisis contoh diasamkan dengan asam asetat dan tambah pereduksi NH2OH.HCl agar semua vanadium direduksi dalam bentuk V+4 asetat.
Prinsip kerja Vanadium Total :
Semua vanadium yang terdapat dalam contoh (V+4 dan V+5) dirubah menjadi V+4 (direduksi) dengan penambahan NH2OH.HCl , untuk manjaga supaya pH stabil maka ditambahkan K2CO3 30 %. Pada penetapan ini larutan dibuat dalam suasana asam dengan penambahan asam asetat maka Vanadium memberi nilai absorbansi paling tinggi. Vanadium asetat ini memberi warna biru yang diukur pada panjang gelombang 785 nm.

3.1.3 Titrimetri
Pada metode ini analit direaksikan dengan suatu pereaksi sedemikian rupa, sehingga jumlah zat-zat yang bereaksi itu satu sama lain ekivalen, yaitu zat-zat yang direaksikan tepat saling menghabiskan sehingga tidak ada yang sisa.
Syarat–syarat reaksi untuk titrasi yaitu :
1. Berlangsung sempurna, tunggal, dan menurut persamaan yang jelas (dasar teoritis).
2. Reaksi berlangsung cepat dan reversible (mempunyai dasar yang praktis).
3. Ada penunjuk akhir titrasi (indikator).
4. Larutan baku yang direksikan dengan analit harus mudah didapat dan sederhana dalam menggunakannya, dan harus stabil sehingga konsentrasinya tidak mudah berubah bila disimpan.

3.2 Alat yang Digunakan

a) Gelas Piala 100 mL
b) Pipet gondok 5 mL
c) Neraca analitik
d) Buret Schelbach 50 mL
e) Lemari asam
f) Batu didih
g) Labu ukur 50 mL
h) Pemanas listrik
i) Spektrofotometer U – 2900 HITACHI



3.3 Bahan yang digunakan

a) Sampel Benfield
b) K2CO3 30 %
c) CH3COOH p.a
d) Hodroksilamin HCl (NH2OH.HCl) 2%
e) Demin Water


3.4 Prosedur Kerja

a) Vanadium Total
3.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi
1. Dipipet 0,2,4,6,8,10 mL larutan induk 1000 ppm Vanadium dalam beaker glass 100 mL.
2. Ditambahkan 5 mL K2CO3 30 %
3. Ditambahkan 100 mL CH3COOH p.a
4. Ditambahkan 2,5 mL Hidroksilamin HCl ( NH2OH.HCl) dipanaskan sampai titik didih kemudian didinginkan
5. Dimasukan kedalam labu ukur 50 mL, diimpitkan dalam demin sampai tanda tera dan dihomogenkan
6. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 785 nm
3.4.2 Cara Kerja
1. Dipipet 5 mL sampel ditimbang dalam beker glass 100 mL
2. Ditambahkan 5 mL K2C03 30 %
3. Ditambahkan 10 mL CH3COOH p.a
4. Ditambahkan 2,5 mL Hidroksilamin HCl ( NH2OH.HCl ) 2%, dipanaskan sampai titik didih kemudian didinginkan
5. Dimasukan kedalam labu ukur 50 mL dihimpitkan dengan demin sampai tanda tera dan dihomogenkan
6. Blanko: 5 mL K2CO3 30 %, selanjutnya sama dengan sampel
7. Diukur dengan spektro pada panjang gelombang 785 nm
3.4.3 Rumus
% Vanadium = Absorban x Faktor (K + B) x 100%
Gram sampel x 1000
% V205 = % Vanadium x 1,785
% KVO3 = % V205 x 1,5179
b) Tetra Valance Vanadium (V+4)
Catatan : Prosedur sama dengan Vanadium total, tapi tanpa penambahan Hidroksilamin HCl 2%

3.5 Pengamatan

3.5.1 Data
Dari praktikum yang telah dilakukan di Laboratorium Benfield yang dimulai dari tanggal 5 Juli 2010 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2010 dengan analisa kadar Vanadium dalam larutan Benfield yang dilakukan secara rutin empat kali seminggu tiap lokasi pabrik (Pusri IB, II, III, IV).
Sebagai data perhitungan penulis mengambil data pada tanggal 5 Juli 2010 sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 pada lokasi sampel 202 E, 1102 E, dan SL (Semi Lean) dengan hasil sebagai berikut.


Tanggal : 5 Juli 2010 P : IB
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,980 5,970 - 6,350 6,360 - 6,190 6,210 -
Abs 0,286 0,191 - 0,269 0,218 - 0,233 0,185 -
Kadar
(%) 1,440 0,960 0,480 1,280 1,030 0,250 1,130 0,890 0,240

Tanggal : 6 Juli 2010 P : III
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,920 5,900 - 6,230 6,230 - 6,090 6,080 -
Abs 0,219 0,178 - 0,175 0,114 - 0,150 0,112 -
Kadar
(%) 1,110 0,910 0,200 0,850 0,550 0,300 0,740 0,450 0,290

Tanggal : 8 Juli 2010 P : II
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,850 5,860 - 6,350 6,360 - 6,160 6,180 -
Abs 0,242 0,214 - 0,299 0,264 - 0,211 0,171 -
Kadar
(%) 1,250 1,100 0,150 1,420 1,250 0,170 1,030 0,840 0,190





Tanggal : 9 Juli 2010 P : IV
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,920 5,920 - 6,210 6,200 - 6,360 6,360 -
Abs 0,235 0,115 - 0,232 0,177 - 0,267 0,203 -
Kadar
(%) 1,200 0,590 0,610 1,260 0,860 0,400 1,260 0,960 0,300

Tanggal : 12 Juli 2010 P : IB
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,320 6,330 - 6,230 6,220 - 6,250 6,250 -
Abs 0,298 0,124 - 0,145 0,142 - 0,199 0,156 -
Kadar
(%) 1,420 0,590 0,830 0,700 0,680 0,020 0,960 0,750 0,210

Tanggal : 13 Juli 2010 P : III
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,960 5,960 - 6,290 6,280 - 6,140 6,140 -
Abs 0,224 0,099 - 0,175 0,114 - 0,154 0,099 -
Kadar
(%) 1,130 0,500 0,630 0,840 0,550 0,290 0,760 0,490 0,270





Tanggal : 15 Juli 2010 P : II
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,890 5,900 - 6,390 6,410 - 6,190 6,200 -
Abs 0,232 0,169 - 0,260 0,218 - 0,211 0,175 -
Kadar
(%) 1,190 0,860 0,330 1,230 1,020 0,210 1,030 0,850 0,180

Tanggal : 16 Juli 2010 P : IV
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,990 6,010 - 6,360 6,360 - 6,190 6,190 -
Abs 0,261 0,133 - 0,273 0,212 - 0,230 0,178 -
Kadar
(%) 1,310 0,670 0,640 1,290 1,000 0,290 1,120 0,870 0,250

Tanggal : 19 Juli 2010 P : IB
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,270 6,270 - 6,200 6,220 - 6,110 6,110 -
Abs 0,297 0,140 - 0,196 0,165 - 0,185 0,145 -
Kadar
(%) 1,430 0,670 0,760 0,950 0,800 0,150 0,910 0,710 0,200





Tanggal : 20 Juli 2010 P : III
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,100 6,000 - 6,050 6,040 - 6,190 6,040 -
Abs 0,246 0,070 - 0,143 0.105 - 0,171 0,091 -
Kadar
(%) 1,210 0,350 0,860 0,710 0,450 0,260 0,830 0,520 0,310

Tanggal : 22 Juli 2010 P : II
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,910 5,910 - 6,380 6,380 - 6,180 6,180 -
Abs 0,235 0,185 - 0,261 0,181 - 0,211 0,171 -
Kadar
(%) 1,200 0,940 0,260 1,230 0,850 0,380 1,030 0,830 0,200

Tanggal : 23 Juli 2010 P : IV
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,000 5,990 - 6,360 6,360 - 6,190 6,200 -
Abs 0,252 0,130 - 0,270 0,207 - 0,233 0,177 -
Kadar
(%) 1,270 0,650 0,620 1,280 0,980 0,300 1,130 0,860 0,270





Tanggal: 26 Juli 2010 P : IB
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,280 6,280 - 6,230 6,220 - 6,210 6,210 -
Abs 0,289 0,167 - 0,198 0,164 - 0,193 0,152 -
Kadar
(%) 1,390 0,800 0,590 0,960 0,790 0,170 0,940 0,740 0,200

Tanggal : 27 Juli 2010 P : III
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,980 5,990 - 6,210 6,210 - 6,080 6,090 -
Abs 0,251 0,184 - 0,166 0,106 - 0,144 0,092 -
Kadar
(%) 1,260 0,930 0,330 0,810 0,510 0,300 0,710 0,460 0,250

Tanggal : 29 Juli 2010 P : II
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,900 5,910 - 6,370 6,380 - 6,180 6,180 -
Abs 0,228 0,169 - 0,251 0,214 - 0,206 0,174 -
Kadar
(%) 1,160 0,860 0,300 1,190 1,010 0,180 1,000 0,850 0,150





Tanggal : 30 Juli 2010 P : IV
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,940 5,950 - 6,390 6,380 - 6,220 6,220 -
Abs 0,236 0,126 - 0,276 0,207 - 0,236 0,176 -
Kadar
(%) 1,200 0,640 0,560 1,300 0,980 0,320 1,140 0,850 0,290

Tanggal : 2 Agustus 2010 P : IB
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,320 6,210 - 6,260 6,270 - 6,210 6,210 -
Abs 0,298 0,180 - 0,224 0,167 - 0,204 0,145 -
Kadar
(%) 1,420 0,870 0,550 1,080 0,800 0,280 0,990 0,700 0,290

Tanggal : 3 Agustus 2010 P :III
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,020 6,010 - 6,290 6,310 - 6,160 6,160 -
Abs 0,251 0,195 - 0,167 0,114 - 0,144 0,096 -
Kadar
(%) 1,260 0,980 0,280 0,800 0,540 0,260 0,700 0,470 0,230





Tanggal : 5 Agustus P : II
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 5,950 5,950 - 6,270 6,290 - 6,120 6,150 -
Abs 0,248 0,114 - 0,199 0,120 - 0,155 0,105 -
Kadar
(%) 1,260 0,580 0,680 0,940 0,570 0,370 0,760 0,510 0,250

Tanggal : 6 Agustus 2010 P : IV
202 E 1102 E Semi Lean
Vt V4 V5 Vt V4 V5 Vt V4 V5
Berat
(gram) 6,210 6,220 - 6,200 6,220 - 6,180 6,170 -
Abs 0,309 0,213 - 0,253 0,284 - 0,148 0,181 -
Kadar
(%) 1,490 1,030 0,460 1,230 0,890 0,340 1,210 0,880 0,330

3.5.2. Perhitungan
1. % Vt
% Vanadium = absorban x faktor (K + B) x 100 %
Gram sampel x 1000
= 0,286 x (104,93 + 0,016) x 100 %
5,980 x 1000
= 0,502 %
% V2O5 = % Vanadium x 1,785
= 0,502 % x 1,785
= 0,890 %

% KVO3 (Vt) = % V2O5 x 1,5179
= 0,890 % x 1,5179
= 1,440 %
2. % V4
% Vanadium = absorban x faktor (K + B) x 100 %
Gram sampel x 1000
= 0,1910 x (104,93 + 0,016) x 100 %
5,970 x 1000
= 0,336 %
% V2O5 = % Vanadium x 1,785
= 0,336 % x 1,785
= 0,599 %
% KVO3 (V4) = % V2O5 x 1,5179
= 0,599 % x 1,5179
= 0,960%
3. % V5
% V5 = % Vt - % V4
= 1,440 % - 0,960 %
= 0,480 %



3.6 Pembahasan
1. Kadar Vanadium total yang didapat dalam analisis selama 3 hari rata-rata berdasarkan lokasi sampel yaitu 202-E adalah 1,263 %, 102-E adalah 1,183% dan SL adalah 0,966% adalah 0,276, artinya Vanadium yang terdapat pada larutan benfield pada keadaan normal dalam memonitor dan menjaga effektifitas Vanadium dalam melapisi permukaan vessel sebagai anti korosi pada peralatan yang dialiri oleh larutan Benfield.
2. Pada analisis Vanadium dalam larutan Benfield standar baku mutu yang ditetapkan oleh pihak perusahaan adalah 0,5 – 1,5 %. Dan apabila kecil dari 0,5 % gas CO2 tidak terserap dengan sempurna, dan apabila besar dari 1,5 % akan terjadi pemborosan serta dapat mengikis pipa-pipa yang mengaliri larutan Benfield tersebut.


BAB IV
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang Penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa jika dibandingkan hasil analisis yang didapat tersebut dengan Literatur atau standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan yaitu kadar Vanadium total 0,5 – 1,5 %, ternyata masih memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan oleh perusahaan serta masih mengacu kepada peraturan pemerintah yang telah ditetapkan secara resmi.

Saran

Saran yang dapat disampaikan penulis dalam Analisis Kadar Vanadium dalam Larutan Benfield sebagai bahan masukkan bagi para pembaca adalah :
1. Dalam Analisis Kadar Vanadium dalam Larutan Benfield sebaiknya pemanasan setelah penambahan K2CO3 30%, CH3COOH, Hidroksilamin HCl 2% jangan sampai terlalu lama, jika terlalu lama sampel akan kering dan susah larutnya dengan demin sewaktu mengimpitkan dan dapat mempengaruhi hasil analisis.
2. Setelah sampel dihomogenkan dan dihimpitkan dengan demin sampai tanda tera didalam labu ukur 50 mL, sampel harus didiamkan terlebih dahulu sebelum diukur dengan Spektrofotometer agar larutan stabil dan tidak ada lagi gelembung-gelembung udara. Jika tidak gelembung udara tersebut dapat mempengaruhi nilai absorban yang diukur pada Spektrofotometer sehingga hasil analisisnya menjadi tidak teliti.
DAFTAR PUSTAKA
Annonymus. 2003. Filosofi Proses Pabrik Ammonia. Dinas Teknik Produksi PT. Pupuk Sriwidjaja. Palembang.
Busser, Herman. 2003. Ringkasan Analisis Jenis. Departemen Perindustrian, Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor. Bogor.

Dinas Laboratorium PT. Pupuk Sriwidjaja. 2001. Pedoman Jaminan Mutu Laboratorium PT. Pusri Palembang. Palembang.

Firdaus. 2003. Dokumen Sistem Mutu Laboratorium PT. Pusri. Buletin PT. Pusri Palembang.Nomor : 214. Hlm: 18. Palembang

Ismail, E. Krisnandi, B.Sc. 2004. Pengantar Analisis Instrumental. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor. Bogor.

Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Lampiran 1
Struktur Organisasi PT PUSRI




















Gambar 1 : Strukur Organisasi PT PUSRI

Lampiran 2
Struktur Organisasi Dinas Laboratorium



















Gambar 2: Struktur Organisasi Dinas Laboratorium

Minggu, 12 Juni 2011

LIMBAH B3

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

* Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
* Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
* Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
* Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.

Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

* jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
* jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
* pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
* peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar

Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.

1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
* menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
* mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
* mendestruksi organisme patogen
* memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
* mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
2. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
3. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
4. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
3. Precipitation
4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Penanganan Limbah B3
Hazardous Material Container
Hazardous Material Container

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.

Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.

Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.

Secured Landfill
Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.

Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Deep Injection Well
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.